By : Kelik Supriyanto
Stasiun Lempuyangan adalah pintu gerbang. Disinilah tempat masyarakat kelas bawah naik KA Ekonomi menumpukan harapan agar bisa sampai tempat tujuannya. Stasiun kelas dua yang tetap bertahan selama 136 tahun biarpun puting beliung menerjangnya beberapa waktu yang lalu.
Stasiun Lempuyangan yang mulai beroperasi sejak 2 maret 1872 ini telah menjadi saksi ratusan ribu orang datang dan pergi silih berganti dengan berbagai tujuan. Stasiun ini tidak pernah bertanya kemana mereka pergi dan kapan dia harus datang kembali. Bagi dia selembar tiket lebih berharga dari pada memikirkan perasaan orang-orang yang lalu lalang didepan hidungnya.
Stasiun Lempuyangan sekarang telah menjadi ruang publik dikarenakan semakin menyempitnya lahan tempat untuk bermain anak-anak dan bercengkeramanya sebuah keluarga urban. Pembangunan mal dan pertokoan telah menggusur keberadaan ruang publik (public space) tempat masyarakat melepaskan kesumpekan hidupnya. Mereka tidak peduli adanya kereta lewat, karena inilah tempat yang belum tergusur oleh perkembangan kota yang semakin menggila.
bangjo kereta api
bantalan rel
formasi rel
gardu pandang
pagar pembatas
tonggak perjalanan
perlintasan kereta
kereta lewat
tempat bermain
Saturday, July 26, 2008
Sunday, July 20, 2008
Pencinta Reptil
By :Kelik Supriyanto
Siapa tidak takut ular ?. Sebagian besar diantara kita pasti takut dengan ular. selain bentuknya yang bikin geli, bisa ular dapat menyebabkan kematian. Tapi bagi pencinta reptil, ular justru dibelai dan dijadikan mainan. Lihat saja acara Jogja Reptiles Contest, 20 Juli 2008 di UC UGM.
Disana ada python molurus albino yang segede pohon pisang, python reticulatus Jawa sepanjang galah. Tidak hanya cowok yang mendekat tetapi cewek-cewek berjilbabpun juga ada yang pegang-pegang lho. Malah ada anak-anak kecil yang menjadikannya mainan.
Berbagai reptile yang dijadikan koleksi para pencinta reptil di Indonesia, diantaranya : kura-kura dan penyu, buaya dan aligator, tokek, biawak dan ular. Perburuan liar di alam menjadikan reptil-reptil ini sudah susah dijumpai di habitat aslinya. Ancaman kepunahan mendorong pecinta reptil melakukan penangkaran. Setelah ditangkarkan dilepas dialam atau dijual ya ?
kura langka
kura matahari
Kalimantan
ekor kura Papua
phython albino
phyton Jawa
ular berbisa
ular hijau
king cobra
Siapa tidak takut ular ?. Sebagian besar diantara kita pasti takut dengan ular. selain bentuknya yang bikin geli, bisa ular dapat menyebabkan kematian. Tapi bagi pencinta reptil, ular justru dibelai dan dijadikan mainan. Lihat saja acara Jogja Reptiles Contest, 20 Juli 2008 di UC UGM.
Disana ada python molurus albino yang segede pohon pisang, python reticulatus Jawa sepanjang galah. Tidak hanya cowok yang mendekat tetapi cewek-cewek berjilbabpun juga ada yang pegang-pegang lho. Malah ada anak-anak kecil yang menjadikannya mainan.
Berbagai reptile yang dijadikan koleksi para pencinta reptil di Indonesia, diantaranya : kura-kura dan penyu, buaya dan aligator, tokek, biawak dan ular. Perburuan liar di alam menjadikan reptil-reptil ini sudah susah dijumpai di habitat aslinya. Ancaman kepunahan mendorong pecinta reptil melakukan penangkaran. Setelah ditangkarkan dilepas dialam atau dijual ya ?
kura langka
kura matahari
Kalimantan
ekor kura Papua
phython albino
phyton Jawa
ular berbisa
ular hijau
king cobra
Sunday, July 6, 2008
Dangdutisme
By : Kelik Supriyanto
Menurut Rhoma Irama, dangdut itu dulunya musik melayu, karena digunakannya gendang yang bunyinya dang…dang…dut.., maka dijulukinya sebagai Dangdut. Dalam lagunya berjudul Dangdut, Rhoma menulis : Pernah aku melihat musik di Taman Ria, Iramanya Melayu duhai sedap sekali, Sulingnya suling bambu gendangnya kulit lembu. Dangdut suara kendang rasa ingin berdendang. Dangdut memang merupakan kombinasi bunyi kendang, suling dan gitar.
Kepindahan Rhoma dari pop ke musik melayu dikarenakan orkes melayu merupakan musiknya orang-orang marjinal, yang mendapat perlakuan diskriminatif oleh kalangan kelas atas, Hanya boleh pentas di tempat becek tempat para fuqara wal masakin. Ia terpanggil untuk memperjuangkannya. (Maksudnya memperjuangkan musiknya atau memperjuangkan tempat yang becek-becek sih)
Dangdut tidak bisa dilepaskan dari goyangan sebagai mana dilantunkan oleh Elvy Sukaesih bersama Rhoma yang berbunyi : Mari berjoged hai kita berjoget, Duhai asyik hai kalau berjoget, bergoyang-goyang. Pinggul digoyang. Bergoyang-goyang, Pinggul digoyang. Hati gembira bersuka ria. Goyang pinggul yang menghebohkan saat ini sebenarnya telah popular sejak lama. Yang dulu hanya goyang ala film India sekarang sudah ada goyang ngebor, goyang ngecor, goyang gergaji, goyang patah-patah.
Di Yogyakarta, pementasan dangdut dilarang dipentaskan di Arena Pasar Malam Sekaten mulai tahun 1996, dikarenakan goyangan erotis yang menyertai alunan musik dangdut tidak sesuai dengan misi sekaten sebagai penyebaran ajaran Islam. (jangan bilang-bilang ya kalau di Purawisata setiap malam ada pementasan Dangdut).
Pementasan dangdut tidak lantas mati. Dibeberapa daerah masih bermunculan grup-grup musik dangdut. Salah satunya OM Sevanada yang masih eksis menghibur masyarakat di pentas seni pada pameran potensi kabupaten Sleman, 2 Juli 2008 yang lalu. Bergoyanglah mumpung belum dilarang sebagai aliran sesat. Habis belum ada yang mengaku sebagai nabi kaum dangduters atau goyang dangdut dianggap setara dengan tarian sufi dari Persia. Sebuah ekstase gerak media transenden menuju keillahian. Embuh ah males mikir, goyang wae.
grup orkes melayu
peniup seruling
gaya goyang
wajah sendu
pamer paha
mupeng (muka pingin)
gaya kaki kram
gaya telentang
gaya melata
pegang, ah
sepatu pendangdut
Menurut Rhoma Irama, dangdut itu dulunya musik melayu, karena digunakannya gendang yang bunyinya dang…dang…dut.., maka dijulukinya sebagai Dangdut. Dalam lagunya berjudul Dangdut, Rhoma menulis : Pernah aku melihat musik di Taman Ria, Iramanya Melayu duhai sedap sekali, Sulingnya suling bambu gendangnya kulit lembu. Dangdut suara kendang rasa ingin berdendang. Dangdut memang merupakan kombinasi bunyi kendang, suling dan gitar.
Kepindahan Rhoma dari pop ke musik melayu dikarenakan orkes melayu merupakan musiknya orang-orang marjinal, yang mendapat perlakuan diskriminatif oleh kalangan kelas atas, Hanya boleh pentas di tempat becek tempat para fuqara wal masakin. Ia terpanggil untuk memperjuangkannya. (Maksudnya memperjuangkan musiknya atau memperjuangkan tempat yang becek-becek sih)
Dangdut tidak bisa dilepaskan dari goyangan sebagai mana dilantunkan oleh Elvy Sukaesih bersama Rhoma yang berbunyi : Mari berjoged hai kita berjoget, Duhai asyik hai kalau berjoget, bergoyang-goyang. Pinggul digoyang. Bergoyang-goyang, Pinggul digoyang. Hati gembira bersuka ria. Goyang pinggul yang menghebohkan saat ini sebenarnya telah popular sejak lama. Yang dulu hanya goyang ala film India sekarang sudah ada goyang ngebor, goyang ngecor, goyang gergaji, goyang patah-patah.
Di Yogyakarta, pementasan dangdut dilarang dipentaskan di Arena Pasar Malam Sekaten mulai tahun 1996, dikarenakan goyangan erotis yang menyertai alunan musik dangdut tidak sesuai dengan misi sekaten sebagai penyebaran ajaran Islam. (jangan bilang-bilang ya kalau di Purawisata setiap malam ada pementasan Dangdut).
Pementasan dangdut tidak lantas mati. Dibeberapa daerah masih bermunculan grup-grup musik dangdut. Salah satunya OM Sevanada yang masih eksis menghibur masyarakat di pentas seni pada pameran potensi kabupaten Sleman, 2 Juli 2008 yang lalu. Bergoyanglah mumpung belum dilarang sebagai aliran sesat. Habis belum ada yang mengaku sebagai nabi kaum dangduters atau goyang dangdut dianggap setara dengan tarian sufi dari Persia. Sebuah ekstase gerak media transenden menuju keillahian. Embuh ah males mikir, goyang wae.
grup orkes melayu
peniup seruling
gaya goyang
wajah sendu
pamer paha
mupeng (muka pingin)
gaya kaki kram
gaya telentang
gaya melata
pegang, ah
sepatu pendangdut
Subscribe to:
Posts (Atom)