by : Kelik Supriyanto
lukisan penangkapan
Akhirnya opera Diponegoro gubahan Sardono W Kusumo, mampir di Yogyakarta. Pertama kali dipentaskan tahun 1995 di Asia Art Summit di TIM Jakarta, lalu doboyong ke Solo. Baru pada tahun 2002 dipentaskan lagi di Solo dan tahun 2008 ini dipentaskan di Pagelaran Keraton Yogyakarta dalam rangka peringatan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Pemain sebanyak 100 orang dapat juga melambangkan sudah 100 tahun sejak Boedi Oetomo memploklamirkan diri tahun 1908. Perang Diponegoro, menurut seniman asal Solo ini, merupakan spirit munculnya kebangkitan nasional di tahun 1908.
Perlawanan Pangeran Diponeggoro yang dikenal dengan perang Jawa telah menelan korban sebanyak 200.000 jiwa dan membuat VOC mengalami kebangkrutan. Dalam opera dilukiskan penangkapan Diponegara di hari kedua lebaran yang mengakibatkan dia diasingkan dan meninggal di Benteng Rotterdam Makasar pada tanggal 8 januari 1855. Pementasan ini menurut Sultan HB X menjadi ajang silaturahmi antara budaya Yogyakarta dan Surakarta yang lama tidak saling menyapa.
Pementasan yang dihadiri oleh beberapa tamu penting seperti pengusaha Arifin Panigoro, dan beberapa pejabat dilingkungan Yogyakarta ini hanya terisi separuh dari tamu undangan. Masyarakat umum hanya dapat mengintip dari balik jeruji pagar keraton. Sejak dulu yang namanya rakyat memang hanya jadi penonton dari kejauhan. Tahta memang untuk rakyat, tetapi rakyat yang mana. Rakyat yang dekat dan dapat menyenangkan kekuasaan tentunya.
Tamu kehormatan
Pengasong rokok
Awal cerita
Perajurit berkuda
Slamet Gundono
Mengintip
Perajurit keraton
Dipanegara
Adegan penangkapan
Sardono W Kusumo
Rakyat jelata
seluruh crew