By : Kelik Supriyanto
Dangdut selalu identik dengan goyangan. Dangdut tanpa goyangan ibarat sayur tanpa garam. Penontonpun bebas bergoyang menyalurkan pepat hati, menuruti naluri, terjun dalam kebahagiaan diri, menikmati kebebasan alami, hanyut dalam alunan musik dangdut.
Perkara goyang ini menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Yang mengecam goyangan erotis menganggap bahwa goyangan ini dapat merusak moral bangsa. Mereka menuduh bahwa yang datang menonton musik dangdut tidak untuk mengapresiasi musiknya tetapi untuk memuaskan syahwat dan birahi mereka. Dan, bila penyanyinya tidak bergoyang erotis, disuruhnya turun panggung.
Bagi yang setuju, dengan bergoyang penyanyi dangdut akan dapat popularitas dan penonton mendapatkan hiburan. Sensualitas telah menjadi ajang katarsis atas beban kehidupan yang semakin sulit. Dangdut terbukti ampuh meninabobokkan masyarakat yang sedang menderita. Apalagi tema lagu dangdut yang berkisar seputar masalah percintaan dan balada kehidupan sangat cocok dengan nurani golongan masyarakat menengah kebawah yang sedang menghadapi kenaikan harga-harga akibat naiknya BBM.
Maka, berpahalalah OM Maulana yang pentas di arena Festival Kesenian Yogyakarta 2008, telah menjadi penghibur bagi masyarakat Yogyakarta untuk sejenak melupakan beban kehidupan, yang terbayang di depan mata. Goyang mas, ser ser ser…..
goyang kayang 45 o
goyang kayang 90 o
nonton goyang
goyang tangan
goyang bareng
goyang pinggang
trio goyang
pasukan goyang
kontes goyang
simbah nonton
bule motret
100 % close up
panggung goyang
Wednesday, June 18, 2008
Saturday, June 14, 2008
Deles Indah
By : Kelik Supriyanto
Udara dingin menusuk tulang sunsum. Aroma kabut menyeruak menusuk hidung. Pagi itu di lereng timur Merapi, penguasa malam mulai menggeliat menyambut datangnya embun pagi. Di ufuk rona kekuningan mengintip pelan menggapai cakrawala. Sang surya tersenyum manja memandang bumi yang masih tertidur pulas berselimutkan kabut.
Pohon cemara bersahutan dihempas angin lembah. Meneriakkan asa para penduduk desa. "Oh Eyang Merapi, jangan kau murkai makluk penghuni desa," ujarnya, "Aku akan setia mengabdi gunung pancering tanah Jawa. Jangan kau sentuh dengan lidah apimu yang membara."
Lembahpun melambaikan tangan mendukungnya. Rumput-rumput memanjatkan kidung rahayu slamet. Bunga-bunga ceria menampakkan kecantikannya. Gunung Bibi melirik bangga pada para punggawanya. Semua seiya sekata menjaga alam, memayu hayuning bawana.
Jangankan tangan-tangan perkasa menghancurkannya.. Mengangkut batu dan pasir tanpa tepa selira. Mengeduk, mengeruk tanpa henti tanpa jeda. Oh Sang Yang Widiwasa, selamatkan bumimu ini dari angkara murka para penguasa yang lupa akan kesejahteraan rakyatnya..
rona pagi hari
cakrawala membara
mata matahari
Merapi berpijar
menerobos kabut
lembah menghijau
bunga mekar
suasana desa
alam pedesaan
penambang pasir
Udara dingin menusuk tulang sunsum. Aroma kabut menyeruak menusuk hidung. Pagi itu di lereng timur Merapi, penguasa malam mulai menggeliat menyambut datangnya embun pagi. Di ufuk rona kekuningan mengintip pelan menggapai cakrawala. Sang surya tersenyum manja memandang bumi yang masih tertidur pulas berselimutkan kabut.
Pohon cemara bersahutan dihempas angin lembah. Meneriakkan asa para penduduk desa. "Oh Eyang Merapi, jangan kau murkai makluk penghuni desa," ujarnya, "Aku akan setia mengabdi gunung pancering tanah Jawa. Jangan kau sentuh dengan lidah apimu yang membara."
Lembahpun melambaikan tangan mendukungnya. Rumput-rumput memanjatkan kidung rahayu slamet. Bunga-bunga ceria menampakkan kecantikannya. Gunung Bibi melirik bangga pada para punggawanya. Semua seiya sekata menjaga alam, memayu hayuning bawana.
Jangankan tangan-tangan perkasa menghancurkannya.. Mengangkut batu dan pasir tanpa tepa selira. Mengeduk, mengeruk tanpa henti tanpa jeda. Oh Sang Yang Widiwasa, selamatkan bumimu ini dari angkara murka para penguasa yang lupa akan kesejahteraan rakyatnya..
rona pagi hari
cakrawala membara
mata matahari
Merapi berpijar
menerobos kabut
lembah menghijau
bunga mekar
suasana desa
alam pedesaan
penambang pasir
Sunday, June 1, 2008
Candi Barong
by : Kelik Supriyanto
Senja temaram menggelayut di dusun Candisari, Sambirejo, Prambanan. Awan merona menyaput cakrawala. Guyuran rintik-rintik hujan masih membasahi pelataran candi. Sore itu diatas perbukitan dua buah candi berukuran 3,7 x 3,7 m2 sedang menatap sang surya yang menyembunyikan wajahnya.
Di perbukitan seluas 36 x 22 m2 dua buah candi berjajar arah utara selatan ini berdiri tegak bak penjaga kala menapaki waktu sejak 900 M. Bangunan bujur sangkar dengan tinggi 2,2 m ini memiliki relung-relung pendek di keempat sisinya. Dia adalah satu-satunya candi yang tidak memiliki bilik dan pintu masuk. Dia menutup pintunya selamanya. Tidak pernah ada makluk yang pernah memasukinya. Hanya sebuah pohon besar di depan candi yang setiap saat menjaga dan mengawasi keberadaannya.
Untuk mempercantik tubuhnya dihiasilah sisi-sisinya dengan motif daun-daunan berpola sulur gelung. Wajah raksasa Barong tertempel di atas relungnya. Disini ditemukan arca beratribut Dewa Wisnu dengan sikap duduk asanamurti. Juga sebuah arca Dewi Sri yang sedang memegang setangkai padi, arca ganesha, dan sebuah arca yang sudah rusak.
Untuk mencapai lokasi candi, kita perlu berjalan kaki mendaki bukit sejauh 200 m dari rumah penduduk. Jalan menanjak dan licin menjadi tantangan tersendiri untuk menapakinya. Candi yang tersembunyi dan misteri yang tersimpannya menantang kita untuk menguaknya.
gelap terang
candi barong
candi dan pohon
memandang senja
formasi pagar
pintu gerbang
tegak berdiri
senja merona
Subscribe to:
Posts (Atom)