By : Kelik Supriyanto
Tidak hanya mahasiswa yang unjuk gigi di Boulevard UGM, kekuatan alampun juga tidak ketinggalan menampakkan kekuatannya. Badai nan dahyat yang datang tanpa diundang dan pergi tanpa diantar pada Jumat, 7 Nopember 2008 sore pukul 14.45 selama 15 menit, membuat tarian maut, mencabut apapun yang dilaluinya.
Boulevard yang selama ini terlihat sejuk oleh rindangnya pohon-pohon besar yang mengelilinginya sekarang tinggal cerita. Nyaris seluruh pohon di boulevard tercerabut dari akarnya. Sebagaimana kampus yang katanya kerakyatan ini tercerabut dari akar masyarakat yang melahirkannya. Biaya SPP dan BOP yang sudah tidak akan tergapai oleh rakyat miskin. Rakyat jelata tinggal menengadah tidak berdaya dan hanya layak bermimpi untuk bisa menitipkan anaknya kuliah di kampus yang berdiri sejak 19 Desember 1949 ini.
UGM tidak hanya tercerabut dari rakyatnya, tetapi sudah tercerabut dari akar sejarahnya juga. Slogan kampus perjuangan yang berasaskan kerakyatan tinggal menjadi sebuah mitos. Simbol UGM sebagai kampus kerakyatan sejak awal berdirinya seharusnya mempunyai tendensi kuat untuk berpihak kepada masyarakat tatkala timbul situasi negara versus masyarakat, bukan malah bersama negara yang kapitalistik ini untuk ikut memiskinkan masyarakat.
nb :
Terimakasih buat Abdee yang masih sudi meminjamkan kameranya sehingga blog ini masih bisa on line. Dan, maaf baru bisa posting lagi sekarang karena sebulan saya sibuk menulis buku semoga bisa cepat terbit.